Senin, 21 Maret 2011

Sambutan Kepala KUA


Assalamu'alaikum wr. Wb

Selamat datang di situs KUA Kecamatan Mranggen. Situs ini merupakan salah satu jalur komunikasi yang dapat diakses secara langsung oleh publik. Situs ini memuat kebijakan,program dan kegiatan KUA Kecamatan Mranggen khususnya, dan Kemenag RI pada umumnya.

Website ini siap memberikan informasi kepada publik mengenai : Profile KUA yaitu : profile Institusi, Profile pejabat maupun pegawai, hal ini dimaksudkan untuk memberi informasi umum tentang Tupoksi KUA, system pengelolaan maupun SDM.


Disamping itu Website ini juga berisi Informasi tentang pelayanan, yaitu : tata cara (SOP) pendaftaran nikah, haji, pengukuran arah kiblat, hisab rukyat, wakaf, BP4, hal dimaksudkan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

Disamping itu , sebagai bentuk akuntabilitas sekaligus menampung pengaduan masyarakat kami sajikan menu khusus tentang pengaduan masyarakat, baik lewat Website, email, HP maupun kotak saran yang kami sediakan di kantor KUA Mranggen.

Tidak lupa untuk memberi informasi yang memadai kepada masyarakat, kami sajikan juga berita nasional, regional maupun lokal KUA Mranggen. Termasuk link kami ke Website yang menunjang : Kemeneg , Bimas Islam, Kanwil Jawa Tengah, Kua di Jawa Tengah, maupun Website lainnya

Harapan kami,Website ini akan menjadi salah satu sarana penting untuk terwujudnya KUA Mranggen menjadi KUA YANG BERBASIS IT.

Kepada tim IT KUA Mranggen kami mengucapkan terimakasih atas kerjasamanya yang baik,sehingga terwujudnya Website ini .

Kepada masyarakat peminat dan pemerhati informasi tentang KUA Mranggen, kami mengucapkan selamat datang di situs kami, jika ada masukan dan saran, kami siap menerima dengan senang hati.


Wassalamu’alaikum warhamatullahi Wabarakatuh
Kepala KUA Mranggen


H. Ali Mansyur, S.Pd.I
NIP.19610210 199103 1 001

Jumat, 18 Maret 2011

Prosedur Pendaftaran Nikah

Calon pengantin datang ke kantor kepala Desa Kecamatan Mranggen yang mewilayahi tempat tinggal masing-masing calon pengantin untuk mendapatkan :
  1. Surat keterangan untuk kawin (Model N-1);
  2. Surat keterangan asal-usul (Model N-2);
  3. Surat persetujuan calon pengantin (Model N-3);
  4. Surat keterangan tentang orang tua (Model N-4) ;
  5. Surat izin orang tua (Model N-5) bagi calon pengantin yang belum berusia 21 tahun;
  6. Surat keterangan kematian suami/isteri (Model N-6) bagi calon pengantin yang berstatus duda/ janda dengan sebab kematian;
  7. Surat pengantar untuk imunisasi TT;
  8. Surat-surat lain yang dibutuhkan.
Apabila calon pengantin laki-laki bertempat tinggal di wilayah Kecamatan yang berbeda dengan calon pengantin perempuan, maka dia data ke KUA Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal calon pengantin laki-laki dengan membawa berkas pernikahan dari Kelurahan atau Desa untuk mendapatkan Surat Rekomendasi untuk Nikah.
Apabila calon pengantin laki-laki belum berusia 19 tahun dan atau calon pengantin perempuan belum berusia 16 tahun, maka harus meminta dispensasi dari Pengadilan Agama.
Apabila calon pengantin laki-laki sudah mempunyai isteri atau isteri-isteri, maka harus meminta izin poligami dari Pengadilan Agama.
Apabila calon pengantin laki-laki dan atau calon pengantin perempuan merupakan anggota TNI atau POLRI, maka harus mendapatkan izin dari Pejabat yang berwenang.
Calon pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan surat Keterangan Kesehatan dan imunisasi TT.

Sekilas KUA Mranggen

Peta Kec. Mranggen
A. Letak Geografis.


Kecamatan Mranggen terletak berbatasan dengan Kota Semarang di sebelah baratnya sedangkan disebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang (Ungaran). Kecamatan Mranggen memiliki luas 7.222 ha (8.05 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Demak) yang terdiri dari 854 tanah sawah dan 6.368 ha tanah kering. Jumlah penduduk Kecamatan Mranggen adalah sekitar 142.627 jiwa yang terdiri dari 70.624 jiwa laki-laki dan 72.003 jiwa perempuan. Kecamatan Maranggen merupakan Kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak di Kabupaten Demak. 


B. Kondisi Sosiokultural


Kecamatan Mranggen berada pada ujung selatan barat Kabupaten Demak yang terdiri atas beragam etnis, pemeluk agama dengan mata pencaharian yang beragam pula. Sedang KUA Mranggen sendiri menempati area yang berada pada lingkungan pusat pendidikan. Oleh karena itu wilayah kerja KUA Mranggen memiliki penduduk musiman terbanyak yang belajar di Pesantren atau madrasah dan sekolah lanjutan yang berada di lingkungan Kecamatan Mranggen. Konsekwensi logis dari kondisi tersebut adalah terjadinya percampuran budaya di tengah-tengah masyarakat yang mungkin tidak terjadi di kecamatan lain di wilayah Kab.Demak dengan letaknya yang berbatasan dengan Kota semarang. Mau tidak mau setiap aparat pemerintahan terutama KUA harus pandai-pandai bersikap dalam melayani masyarakat dengan mengutamakan pelayanan prima.

Disektor pertanian, tanaman yang berpotensi ditanam di Kecamatan Mranggen antara lain padi, jagung, ketela pohon, kacang tanah, kacang hijau, dan kedelai. Berdasar data dari Badan Pusat Statistik tahun 2008 jumlah produksi kedelai di kecamatan Mranggen adalah sejumlah 7.692 ton kedelai (menempati urutan pertama di Kabupaten Demak). Hewan ternak yang dipelihara di Kecamatan Mranggen antara lain sapi perah, sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, ayam ras, ayam kampung, itik, angsa, kalkun, dan puyuh.

Sektor perikanan dan kelautan di Kecamatan Mranggen tidak berkembang dengan baik, karena tidak terletak di pesisir pantai maka hasil produksi ikan di Kecamatan Mranggen hanya terdapat ikan darat seperti tawes, mujair, nila, dan lele.

Produk dan barang yang dihasilkan dari industri besar/sedang, kecil, dan rumah tangga antara lain industri es, tempe, krupuk, roti, pakaian, pengolahan kayu/mebel, genting, batu merah, kerajinan sangkar burung dan pengolahan limbah plastik. Untuk industri pengolahan limbah plastik, di Kabupaten Demak hanya terdapat di Kecamatan Mranggen.

C. Kondisi KUA Kecamatan Mranggen


Gedung KUA Kecamatan Mranggen terletak dijalan Sukaimi no 75 Kec. Mranggen (belakang Masjid Baitul Muttaqin), berada di desa Mranggen Kec. Mranggen.

Gedung KUA Mranggen dibangun diatas tanah milik  BKM Demak sebagai hak guna bangunan seluas 500 m2 dengan luas bangunan 92 m­2 dan 70 m2  terdiri dari bangunan Kantor kerja dan balai pertemuan (Balai Nikah).

Adapun rata-rata pernikahan di KUA Kec. Mranggen sangat tinggi yaitu 1300 an, terbesar nomer satu di Demak, oleh karena itu sangat perlu dibutuhkan pegawai yang cukup lagi profesinal.

Demikian sekilas tentang keadaan KUA Mranggen, adapun untuk kemajuan dan perbaikan pelayanan disampaikan kepada masyarakat untuk memberi sumbang sarannya, terimakasih .

Selasa, 15 Maret 2011

Pacaran: Mengakali Hukum Islam?

 “Kalian selalu mencari-cari alasan buat pacaran, ya?” (KHP: 104) Demikian dakwaan dari sebagian penghujat. “Tak sedikit,” tuduh mereka, “santri-santri yang sudah berani berpacaran dengan mengatasnamakan pacaran Islami. Mereka mencampurkan yang haq dengan [yang] bathil.” (PIA: 24) Mereka menghujat, “karena nggak pake dalil yang bener, ditempeli deh aktivitas itu dengan istilah ‘islami’. Harapannya, bisa enjoy menikmati hubungan tersebut. Alasannya, toh sudah ada sertifikat ‘halal’ dengan mencantumkan kata ‘islami’ di akhir kata ‘pacaran’. Gedubrak!” (JNC: 73) Lalu, saran mereka, “Jangan sampai kamu ‘ngakalin’ hukum gitu lho.” (JNC: 75) Benarkah dakwaan mereka itu? Bab 4 ini berjuang membela pelaku-pelaku ‘pacaran islami’, terutama dari kalangan santri dan remaja masjid, yang dituding mencari-cari alasan untuk mengakali hukum Islam.
Alasan Pacaran Islami Tidak Dicari-cari
“Sebuah ungkapan jangan ‘beli kucing dalam karung’ nampaknya menjadi alasan klasik.” (PIA: 33) Dalam prasangka sebagian penghujat, “alasan inilah yang paling banyak diakui oleh teman remaja yang pacaran. … Padahal, kayaknya cuma akal bulus deh.” (JNC: 68) Akal bulus? Tidak bolehkah kita berikhtiar untuk lebih mengenal calon pasangan hidup?
“Bohoong! Bohong banget kalau orang yang pacaran itu makin mengenal satu sama lain. Kalaupun iya, paling juga kenal luarnya doang.” (KHP: 117) Mereka mendakwa, “pacaran adalah saat-saat paling munafik dalam kehidupan seseorang.” (PIA: 34) “Kita lihat kan, berapa banyak orang pacaran dengan dalih ‘mengenal’ sebelum menikah, toh saat menikah mereka juga malah pada berantem terus. Hihihi… abis gimana? … abis nikah kebuka semua sih, sifat aslinya.” (KHP: 117-118) Ya. Itu bisa saja terjadi. Namun, untuk adilnya, kita harus melihat juga, berapa banyak orang ‘pacaran islami’ dan kemudian setelah menikah menjadi sangat rukun (jarang berantem), karena sudah saling kenal sebelum menikah. Abis, pada waktu ‘pacaran islami’ itu, sudah kebuka semua sih, sifat aslinya yang mendasar (kendati sifat-sifat lain yang tidak fundamental belum terkuak).
“Standar mengenal juga nggak bisa dipastikan.” Maka, menurut sebagian penghujat, “yang menjadi masalah sebenarnya bukan seberapa lama mereka ‘mencoba mengenal’, namun seberapa siap seorang laki-laki dan perempuan untuk memahami dan bertanggung jawab dalam bingkai sebuah hubungan yang dihalalkan. Bukan begitu?” (KHP: 120-121) Bukan! Argumentasi tersebut tampak sesat-pikir lantaran ‘dilema yang keliru’. (Lihat JSP: 43.) Mengapa keliru, berikut ini penjelasan saya.
Bagi orang yang merasa belum siap nikah, pacaran itu bisa menciptakan rasa saling-kenal, sehingga ia menjadi merasa siap untuk meresmikan hubungan. Sementara itu, bila kita tanpa pacaran sudah bisa merasa siap untuk memikul tanggung jawab dalam pernikahan, itu antara lain karena ada rasa saling-kenal yang mendasarinya, meskipun sedikit. Rasa saling-kenal tambahan (yang tumbuh dari pacaran, misalnya) dapat membuat kita lebih merasa siap untuk menikah.
Rasa mengenal itu lebih kita butuhkan daripada pengetahuan tentang si dia. Jika kita tahu banyak, tetapi belum merasa cukup-mengenal, maka banyaknya pengetahuan itu kurang memberi kita dorongan. Tapi, jika kita merasa cukup-mengenal, maka itu sudah dapat mendorong kita untuk merasa siap untuk menikah, walau menurut ‘standar orang-orang’ pengetahuan kita tentang si dia tidak banyak. Karena itu, tidak jelasnya standar mengenal tidak menjadi masalah.
Bagaimana kalau dalam rangka mendorong pacar agar dia semakin merasa ‘siap’ kita gunakan rayuan? Kita pakai kata-kata manis seperti: ‘Bulan madu ke awan biru, akan kugendong rembulan, kukantongi bintang-bintang. Kalau tak percaya, belahlah dadaku.’?
“Gombal! Dibohongin luuu! … Bohoooong.” (KHP: 83; PIA: 34) Bohong? Belum tentu. Menurut Yusuf Qardhawi dan ar-Raghib al-Isfahani, berbagai macam majâz (kiasan) “yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan pelbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual, … tidak boleh dianggap sebagai kebohongan.” (BMHN: 167-168) Rasulullah saw. pun dalam berbahasa sering memakai majâz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara-cara yang “sangat mengesankan”. (BMHN: 167)
Jika cara rayuan maut, pemberian dorongan kuat, dan perhatian besar demi kelanggengan hubungan sudah dijalankan, tetapi akhirnya tidak bersanding di pelaminan, bagaimana? “Jodoh di tangan Allah, bukan di tangan pacarmu. Maksudnya, biar sudah pacaran jungkir balik kalau Allah menentukan bukan jodoh, ya… nggak kesampaian.” (KHP: 172) Ya, ada benarnya. Biar sudah kerja banting tulang, kalau Allah menentukan bukan rezeki kita, ya… nggak kesampaian. Biar sudah jungkir balik menjaga kesehatan dan keselamatan, kalau Allah menentukan waktunya ajal, ya… kesampaian. Lantas, apakah kita tak perlu bekerja keras, tak perlu menjaga kesehatan dan keselamatan, tak perlu berikhtiar mengusahakan calon jodoh?
Tidakkah “suatu kesia-siaan saja jalan bersama seseorang yang belum tentu seratus persen menjadi pasangan hidup”? (KHP: 127) Tidak. Karena pacar Anda belum tentu seratus persen menjadi pasangan hidup Anda, ya jalan bersamanya tidak usah seratus persen. Tidurnya sendiri-sendiri, mandinya sendiri-sendiri. Jika, dalam perhitungan akal sehat Anda, peluang dia hanya limapuluh persen, ya jalan bersama dianya cukup limapuluh persen juga. Kuota limapuluh persen itu sudah cukup lumayan untuk menjadi ladang amal melalui pacaran islami. “Barangsiapa membawa kebaikan, balasannya akan lebih baik dari itu.” (al-Qashshash [28]: 84)
Amal itu tidak pernah sia-sia selama kita ikhlas melakukannya. Karena itu, ketika Anda berbuat baik kepada pacar Anda, janganlah Anda pikirkan apakah akhirnya dia akan ditaqdirkan Allah menjadi pasangan hidup ataukah tidak.
Memang, kita tak kuasa mengubah qadar. Namun, Tuhan berkuasa mengubahnya. “Dihapuskan-Nya apa yang Dia kehendaki, dan ditetapkan-Nya apa yang Dia kehendaki.’ (ar-Ra’du [13]: 39) Agar perubahan itu terjadi, ada syaratnya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu mengubahnya sendiri.” (ar-Ra’du [13]: 11) Karena itu, di samping berdoa, haruslah kita berikhtiar supaya keadaan buruk kita diubah oleh Tuhan, diubah-Nya menjadi baik menurut kehendak-Nya. (TM: 101) Walau jodoh di tangan Tuhan, “Allah telah mempersilakan kita untuk menjemputnya dengan ikhtiar kita.” (NAI 58-59; lihat MCMD: 176-180.) Caranya, antara lain, bercintaan dengan kekasih-tetap.
“Sssttt,” bisik sebagian penghujat, “orang-orang yang jatuh cinta itu —menurut penelitian [antropolog Helen Fischer]— ngeluarin hormon yang bikin bodho. … Otak kirinya nggak bekerja.” (KHP: 108) Tapi, riset tersebut bertentangan dengan penelitian ahli-ahli psikologi, khususnya yang mendalami bidang kecerdasan. Daripada Fischer, mereka lebih dapat dipercaya untuk dijadikan narasumber dalam masalah kecerdasan, bukan?
Menurut penelitian pakar-pakar kecerdasan itu, emosi (perasaan) memang dapat melumpuhkan otak kiri, tetapi itu hanya terjadi pada emosi negatif yang teramat kuat. (KE: 110) Emosi negatif itu berupa amarah, kecemasan, kesedihan, dsb. (KE: 77-108) Adapun rasa cinta itu sendiri bukanlah emosi yang negatif. (Lihat KE: 8 dan 15.) Jadi, rasa cinta tidak akan melumpuhkan otak kiri (tidak akan menyebabkan kebodohan).
Bagi sebagian orang yang lebih mengunggulkan otak kiri daripada yang kanan, bercintaan dengan kekasih-tetap mungkin dianggap ketinggalan zaman. “Kuno!” seru sebagian penghujat. Alasan mereka, “Zamannya apa-apa musti cepet, kok masih sempat-sempatnya bersayang-sayangan.” (KHP: 149) Tapi, ahli-ahli biologi evolusi dan psikologi kecerdasan berpandangan lain. Menurut penelitian para pakar itu, ciri aktivitas otak primitif adalah ‘cepat tapi ceroboh’, sedangkan yang modern adalah ‘teliti walau lambat’. (KE: 31) Dengan demikian, yang lebih modern bukanlah yang lebih cepat, buru-buru, dsb., melainkan yang lebih cermat, penuh perhatian, dsb.. Jadi, bila kita pacaran secara Islami agar lebih teliti lagi dalam ‘melihat calon’, bukan untuk menunda-nunda pernikahan, alasan ini memiliki dasar yang kuat, tidak dicari-cari.
Islamisasi Pacaran Dibenarkan Syari’at
“Nggak setiap perbuatan apabila diembel-embeli dengan kata ‘islami’ bisa langsung dikatakan halal untuk dilakukan. Nggak lho, kudu dilihat dulu aktivitasnya.” (JNC: 72) Benar! Halal-haramnya sesuatu tidak bergantung pada namanya, tapi pada aktivitasnya. Apa aktivitas dalam pacaran? Bercintaan dengan kekasih-tetap. Haramkah aktivitas ini? Tidak selalu.
Namun, dalam pandangan sebagian penghujat, “yang namanya hubungan antara laki-laki dan perempuan selain nikah tuh, rawaaan banget.” (KHP: 115) Dengan kata lain, menurut mereka, “peluang nggak baiknya lebih banyak daripada manfaatnya.” (KHP: 114) Padahal, itu hanya terdapat pada ‘pacaran pada umumnya’. Pada ‘pacaran islami’, hubungannya tidak rawan.
Sebagian penghujat menuntut, “jangan nyari alasan bahwa pacaran kalian nggak pakai aktivitas-aktivitas begituan. Jangan mencari alasan pembenar kalau kalian pacaran islami segala.” (KHP: 167, 169) Mereka menolak sebuah argumen dari sebagian orang di antara kita (yang berhati-hati dalam melakukan pacaran islami) bahwa aktivitas pacaran islami itu “no kiss, no touch. Kalau ketemu ya di masjid. [Padahal, di tempat lain pun tidak apa-apa.] Ngobrolnya jauhan. [Padahal, berdekatan pun boleh, selama tidak ‘mendekati zina’.] Nggak pernah pegangan tangan kalau jalan berdua. [Padahal, ada kalanya pegangan tangan dihalalkan.] Nggak ada jadwal khusus untuk wakuncar. Kapan-kapan aja kalau mau. [Padahal, terjadwal pun tak tercela.] Melepas rindu pun cukup bicara lewat telepon, atau mungkin kirim-kirim SMS dan e-mail saja. [Padahal, langsung tatap-muka pun tidak haram, selama tidak ‘mendekati zina’.] Pokoknya asli tanpa ciuman dan tanpa sentuhan. [Padahal, tidak semua sentuhan terlarang.] Aman dari segala macam ‘gerilya’ yang tak perlu.” (JNC: 71-72)
“Waduh, dari mana pula dapet ‘dalil’ begini rupa?” protes mereka. (JNC: 72) Dari mana? Ya dari argumentasi mereka sendiri! Mereka sendiri yang meminta, “kudu dilihat dulu aktivitasnya.” (JNC: 72) Mengapa saat kita kemukakan daftar aktivitas yang mereka minta untuk kita lihat itu, mereka sendiri tidak mau menggubris? Mengapa, sebelum daftar tersebut mereka periksa Islami-tidaknya, kita sudah dituduh “selalu mencari-cari alasan buat pacaran”? (KHP: 104)
Kita yakin, “Yang haram tetap haram dan tidak bisa berubah hukum sekalipun dikaitkan dengan simbol-simbol Islam.” (PIA: 22) “Mana mungkin yang haram bisa berubah jadi halal jika diganduli kata ‘islami’.” (JNC: 72-73.) Memang tidak mungkin. Tapi, apakah “yang namanya pacaran itu, bagaimanapun alasannya kagak pernah ada dalam aturan Islam”? (KHP: 174) Aktivitas haram manakah yang berubah jadi halal dalam pacaran islami? Apakah aktivitas-aktivitas di dalam daftar tadi, yang “aman dari segala macam ‘gerilya’ yang tak perlu”, itu haram? Apakah ketemu di masjid, ngobrol jauhan, bicara lewat telepon, atau kirim-kirim SMS dan e-mail itu haram?
Kita tidak membantah, praktek pacaran pada umumnya bolehjadi melanggar syari’at. “Pacaran yang katanya ajang bagi sepasang kekasih untuk saling mengenal pun, tak sekadar itu. Bahkan lebih,” (KHP: 137) yaitu “pengumbaran nafsu syahwat.”(PDKI: 35) Yang parah, “‘Making Love’ (seks) bagi sebagian orang memang menjadi bumbu penyedap dalam pacaran.” (JNC: 78)
Kepada penulis dan penerbit KHP, PIA, JNC, dan PDKI, kita berterima kasih atas peringatan akan penyimpangan-penyimpangan itu. Mudah-mudahan, dengan begitu, kita menjadi lebih berhati-hati dalam berpacaran. Selain itu, semoga pemberitahuan semacam itu tidak membuat pasangan yang selama ini lurus malah menjadi terdorong untuk menyimpang, seperti cium-ciuman, peluk-pelukan, raba-rabaan, dsb., dengan dalih: “Ini kan sudah biasa dilakukan oleh orang-orang yang pacaran!” Bagaimanapun, kebenaran dan kebaikan bukan terletak pada apa yang biasanya terjadi.
Lantas, bagaimana sebaiknya sikap kita menghadapi begitu banyaknya penyimpangan di dunia pacaran? Kita dapat belajar dari sebuah hadits shahih bahwa “Ilmu [agama] ini diemban dalam setiap generasi belakangan oleh orang-orang adil yang menyingkirkan penyimpangan orang-orang yang berlebihan, pemalsuan orang-orang yang suka berbuat bathil, dan pentakwilan orang-orang bodoh.” (HR al-Baihaqi)
Dalam belajar ini, kita dapat mencontoh sebuah model solusi yang telah dijalankan oleh Hamka. Melihat banyaknya penyimpangan yang serius di dunia ‘tasauf’ yang menjurus syirik, yang dosanya mungkin jauh lebih besar daripada dosa zina yang terdapat pada ‘pacaran pada umumnya’, ulama kita ini tidak serta-merta mengharamkan segala bentuk ‘tasauf’. Dengan mengetengahkan konsep ‘Tasauf Modern’, Hamka bertekad, “Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasauf.” (TM: 17)
Oleh sebab-sebab itu, strategi yang kita pilih adalah islamisasi, meluruskan aneka penyimpangan, mengambil yang haq dan menyingkirkan yang bathil (tidak mencampur-adukkan antara keduanya), merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Langkah islamisasi seperti ini dapat dibenarkan oleh syari’at. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua pegangan, sehingga kalian tidak akan tersesat selama berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah [Al-Qur’an] dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Malik dan Hakim)
Jangan Berlebihan dalam Mencegah Zina!
Sebagian orang berkata, pacaran itu “aktivitas yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (JNC: 75) Hah?! Diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya? “Celakalah orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri kemudian mereka katakan bahwa buatan tangan mereka sendiri itu dari Allah.” (al-Baqarah [2]: 79) Rasul-Nya bersabda: “Barangsiapa sengaja berbohong tentang diriku [tentang sesuatu yang dilakukan atau diucapkan oleh beliau] maka hendaknya ia bersiap-siap memasuki tempatnya di neraka.” (BMHN: 69)
Wahai pengharam ‘pacaran islami’! Terangkanlah kepada kami tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kita, lalu kamu jadikan sebagiannya haram! Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu untuk menetapkan haramnya rezeki-Nya itu? Ataukah kamu mengada-ada saja? (Lihat Surat Yunus [10] ayat 59.)
Sebagian penghujat menetapkan, “Mustahil ada pacaran dalam Islam atau mustahil ada pacaran yang islami. Seperti halnya mustahil ada judi yang islami, … dll.” (PIA: 22) “Gimana bisa disebut islami,” alasan mereka, “wong judi itu sendiri adalah aktivitas haram.” (JNC: 72) Namun, alasan tersebut tampak sesat-pikir lantaran ‘analogi yang pincang’. (Lihat JSP: 22.)
Memang, judi jelas-jelas dinyatakan sebagai “perbuatan keji buatan syetan” (al-Maa’idah [5]: 90). Akan tetapi, manakah ayat Qur’an atau pun hadits yang menyebutkan haramnya ‘bercintaan dengan kekasih-tetap’? Kalau tidak ada bukti haramnya, bukankah tidak mustahil ada pacaran yang islami? (Lihat Bab 2.)
Mereka mengakui, “Memang nggak pernah ada istilah La tapaccaru (jangan pacaran). Tapi,” saran mereka, “mbok ya cerdas dikit dooong, kalau aktivitas ini jadi pintu masuk zina.” (KHP: 167) Padahal, pacaran Islami kan nggak sampai mendekati pintu masuk zina! [Lihat Bab 3.]
“Benar, tapi bukankah perzinaan juga dimulai dari hal yang kecil?” debat mereka. (JNC: 59) Iya, memang begitu. “Setiap orang memiliki nafsu birahi. Nafsu ini sengaja ditunggangi oleh syetan agar manusia dapat melampiaskannya di luar jalur Islam. Di antara cara syetan menunggangi nafsu birahi ini adalah dengan pacaran.” (PIA: 26) “Memang, nggak semua cowok dan cewek berengsek, tapi masalahnya, setan ada di mana-mana.” (KHP: 137)
Lantas, apakah karenanya “Pacaran itu jalan syetan yang lurus (menuju neraka)”? (PIA: 26) Mari kita bandingkan dengan jalan syetan lainnya. Selain melalui kecintaan terhadap lawan-jenis, syetan dapat menyimpangkan kita keluar dari jalur Islam melalui kecintaan terhadap harta dan anak-anak. (Lihat Ali ‘Imran [3]: 14 dan KW3: 279-287.) Lalu, apakah karenanya berharta atau pun beranak itu jalan syetan yang lurus menuju neraka? Belum tentu. Nah! Begitu pula pada kejadian bercintaan dengan kekasih-tetap.
“Kalau kamu sering bertemu dengan lawan jenis,” debat mereka lagi, “nggak ada jaminan kan kalau kamu bisa tahan godaan.” (JNC: 59) Ada! Bahkan, jaminannya sudah mereka katakan sendiri: “Cinta sejati … akan senantiasa lulus dari berbagai ujian.” (JNC: 35) “Mencintai seseorang berarti menjaganya…. Tidak mungkin, seseorang yang mencintai orang lain dengan sebenar-benar cinta akan ‘merusak’ sesuatu yang dicintainya, meskipun dia memiliki ‘kesempatan’ untuk itu.” (KHP: 258) [Selain itu, Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah cukup sempurna sebagai pedoman untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya zina.]
Ataukah mereka kira, yang dapat menjalani cinta ‘sejati’ [berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah] itu hanya mereka? Orang Islam lainnya takkan bisa tahan godaan? Percaya tak percaya, syari’at Islam mengakui kesucian fitrah dan ketulusan orang Islam. Kita pun diperintahkan untuk “mempercayai masyarakat muslim dan berprasangka baik terhadap mereka.” (KW3: 224-225; lihat an-Nuur [24]: 12.)
Kita bukan hanya dilarang berlebihan dalam mencegah kemunkaran yang mungkin akan terjadi pada orang lain. Dalam mencegah diri sendiri berzina pun kita dilarang berlebihan.
Pernah, “datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan berkata: ‘Ya Rasulullah, apabila aku makan daging walau sedikit, niscaya nafsuku terhadap wanita akan bergejolak. Oleh karena itu, aku haramkan daging bagi diriku.’ Maka turunlah ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik yang oleh Allah dihalalkan bagimu.’ (Ibnu Katsir memberitakan peristiwa itu di dalam kitab tafsirnya.)” (IEAP: 21) “Dan janganlah kamu berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (al-Maa’idah [5]: 87)
Namun, debat mereka: “Setiap orang yang berfikiran sehat pasti menyadari, alasan seperti di atas akan memberi peluang bagi tumbuh suburnya pergaulan bebas yang dapat mengakibatkan kebejatan akhlak.” (PDKI: 73-74) Pemberian izin ‘pacaran islami’ bisa disalahgunakan. Bahkan, ada yang berpandangan, ‘pacaran islami’ yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. mustahil (atau hampir mustahil) bisa diterapkan di masyarakat kita. (Lihat JCPI.)
Barangkali alasan mereka, “Masyarakat yang hidup pada zaman Rasulullah saw. adalah masyarakat saleh yang terhindar dari fitnah, sedangkan masyarakat kita sekarang banyak mengalami kemerosotan moral.” Namun, Abu Syuqqah mengabarkan: “anggota masyarakat yang hidup di Madinah pada zaman Rasulullah tidak semuanya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, atau seperti ‘Aisyah, Asma, dan Ummu Sulaim. Bahkan masyarakat Madinah saat itu terdiri atas berbagai golongan; ada orang-orang munafik, orang Yahudi…. Walaupun demikian, Allah tetap … membolehkan apa yang boleh.” (KW3: 255)
Memang, kita pun sedikit-banyak khawatir kalau-kalau pemberian izin ‘pacaran islami’ disalahgunakan. Sungguhpun begitu, dalam bersikap demikian kita jangan mengharamkan sesuatu yang tidak terlarang. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Abdullah bin Umar, seorang shahabat yang dikenal “sangat berhati-hati” dan “banyak mengikuti jejak-jejak Rasulullah” (TTTI: 302).
Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi shalat ke masjid ketika mereka meminta izin kepada kalian.’ Bilal bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah, aku akan melarang mereka karena izin itu akan mereka salah gunakan.’ Lalu Abdullah menemuinya dan memakinya dengan makian yang tidak pernah didengar sebelumnya seraya berkata, ‘Saya beritahu kamu tentang hadits Rasulullah saw. tapi kamu justru mengatakan, ‘Aku akan melarang mereka.’” (HR Muslim)
Dengan Pacaran Islami, Muliakanlah Islam!
Dalam hukum Islam, kaidah taisir (pemberian kemudahan) diakui di samping kaidah saddudz-dzari’ah (pencegahan). (KW3: 172) Keduanya saling melengkapi dan saling menyeimbangkan. Bolehkah kita menerapkan satu kaidah saja dan tidak menerima kaidah lainnya? Jangan! Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya!” (al-Baqarah [2]: 208)
Seruan itu tidak hanya kami tujukan kepada pihak penghujat, tetapi juga kepada aktivis dan simpatisan ‘pacaran islami’. Di samping tidak berlebihan, kita pun jangan sampai berkurangan dalam mencegah zina!
Walau pada asalnya tidak tergolong ‘zina hati’, asmara pranikah bisa saja menjadi kurang berharga dan tidak dirahmati Allah. Yaitu ketika tercemari oleh nafsu syahwat yang tidak terkendali (‘zina hati’) atau nafsu kotor lainnya. Meski sudah terawasi oleh orang lain ketika kita berduaan, kita sendirilah yang tahu apakah kita terangsang oleh nafsu birahi ataukah tidak. Karena itu, kita harus peka dan mengenali gejolak syahwat kita, untuk kemudian mendengarkan suara hati nurani, seperti yang telah diteladankan oleh Yusuf a.s..
Nabi Yusuf a.s. berkata: “Wahai Tuhanku! Penjara lebih kusukai daripada memenuhi ajakan mereka [untuk berzina]. Kalau tidak Engkau hindarkan tipu muslihat mereka dariku, aku akan cenderung kepada mereka, dan aku akan tergolong ke dalam orang-orang yang bodoh.” (Yusuf [12]: 33) Tuhan berfirman: “Katakanlah: ‘Jika … pasangan-pasangan kalian … lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya!’ Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq.” (at-Taubah [9]: 24)
Memang, kalau sekadar berjabatan tangan di saat pemberian ucapan selamat atau perjumpaan setelah lama berpisah, sedangkan Anda bergandengan tangan hanya bilamana perlu, dan ketika berboncengan pun berusaha keras untuk tidak saling bersentuhan, maka saya tidak berani berprasangka yang bukan-bukan. Namun, bila Anda sering bergandengan tangan dengan sang pacar, dengan niat agar romantis atau untuk bermesraan, maka saya sangat meragukan keislamian aktivitas Anda ini. (Untuk romantis dalam pranikah secara Islami, lihat NAI: 87-100 dan 135-144.)
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya. … Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, maka ia akan sampai kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya, atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya [terhenti] pada apa yang ditujunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Bolehjadi, niat yang mulialah yang melandasi dakwaan sebagian penghujat bahwa “Melegalisasi pacaran dengan dihiasi simbol-simbol Islam merupakan perilaku biadab, sama dengan mengotori Islam secara terang-terangan dan pelecehan [terhadap Islam] yang nyata. Akibatnya muncul image yang tidak baik terhadap Islam.” (PIA: 25) Namun, kami yakin bahwa islamisasi pacaran, sebagaimana islamisasi tasauf, bisa menjadi langkah yang beradab. Langkah ini dapat turut memperbaiki citra Islam, yang saat ini sering dihubungkan dengan terorisme dan kekerasan.
Sayangnya, sebagian penghujat bersikap benci dan antipati terhadap ‘pacaran islami’. Dengan keras mereka nyatakan bahwa pemahaman dan “istilah pacaran islami tuh … berbahaya.” (JNC: 76) Bahkan, mereka memandang para pendukung ‘pacaran islami’ sebagai “musuh dalam selimut” yang “lebih berbahaya daripada musuh yang jelas di depan mata.” Alasan mereka, semua aktivitas ‘pacaran islami’ merupakan “upaya pembusukan Islam dari dalam.” (PIA: 23) Namun, kami menyayangkan sikap kebencian dan posisi permusuhan mereka itu. Mengapa? Karena kami yakin bahwa para penyokong islamisasi pacaran, yang suka membersihkan diri, tidak mustahil dicintai Allah dan menjadi kekasih-Nya. (Lihat al-Baqarah [2}: 222 dan at-Taubah [9]: 108.) Sedangkan dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman: “Barangsiapa memusuhi kekasih-Ku, maka sungguh Aku menyatakan perang kepadanya.” (HR Bukhari) Padahal, para pembenci ‘pacaran islami’ itu tidak ingin diperangi Allah, bukan?
Wahai pembenci ‘pacaran Islami’! “Bolehjadi kamu membenci sesuatu, padahal amat baik bagimu, dan bolehjadi [pula] kamu menyukai sesuatu, padahal amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 216) “Dan janganlah kamu ikuti apa yang kamu tidak tahu tentangnya!” (al-Israa’ [17]: 36)
Sebagian penghujat barangkali kurang memahami sabda Rasulullah saw., “Halal itu jelas dan haram itu juga jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat (tidak jelas apakah halal ataukah haram) yang tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Barangsiapa yang menghindari hal-hal yang syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat PIA: 15-16 dan KHP: 169.) Bagi mereka yang tidak memahami hadits tersebut dengan baik, mereka mencukupkan diri dengan mengharamkan segala sesuatu yang sepengetahuan mereka belum jelas kehalalannya. Mereka sangka, begitulah kealiman yang terpuji. Padahal, orang alim ialah orang yang seraya menghindari yang syubhat, ia terus-menerus mencari tahu kejelasan, sehingga yang tampak jelas (halal atau haram) semakin banyak dan yang syubhat semakin sedikit. (KW3: 229)
Mungkin lantaran kebelumtahuan tentang ‘pacaran islami’, penghujat-penghujat itu mengatakan, “kagak ada maklum-makluman deh, sama … ‘pacaran islami’.” (KHP: 151) Mereka bersikukuh pada pendapat mereka sendiri. “Apa pun modus operandinya,” mereka memvonis, “yang namanya pacaran tetep haram, titik.” (KHP: 153)
Sikap ‘titik tebal’ itu tampak berbeda jauh dari sikap imam-imam mujtahid yang terbuka terhadap kemungkinan kelirunya fatwa mereka. Imam Abu Hanifah berwasiat, “Apabila perkataanku menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul saw., maka tinggalkanlah perkataanku.” Imam Malik berpesan, “Ketahuilah! Sebenarnya aku ini hanyalah seorang manusia, mungkin salah dan mungkin benar. Maka selidikilah segala pendapatku. Tiap-tiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, ambillah dia; dan yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah dia.” (PHI1: 166)


Tata Cara Pendaftaran Haji dan Ketentuannya

PROSES PENDAFTARAN

Syarat Pendaftaran untuk WNI (PMA no. 15 tahun 2006 pasal-4) jo. KMA No.1 tahun 2008 :
  • Beragama Islam. 
  • Surat Keterangan Sehat dari Puskesmas. 
  • Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku.
Untuk WNA (pasal-4) ditambah dengan :
  • Memiliki paspor yang masih berlaku sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak hari keberangkatannya. 
  • Memiliki dokumen keimigrasian / izin tinggal yang berlaku sekurang-kuranya 6 (enam) bulan terhitung sejak hari keberangkatan haji. 
  • Memiliki izin masuk kembali (re-entry permit) ke Indonesia dan

ALUR PENDAFTARAN

  • Pendaftaran dilakukan sepanjang tahun dengan menerapkan prinsip first come first served. 
  • Calon Haji membuka Tabungan Haji pada Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH yang sudah bekerjasama dengan Kementerian  Agama RI dan sudah tersambung dengan SISKOHAT Depag sesuai dengan domisili. 
  • Rekening Tabungan Haji dari Calon Haji setelah mencapai di atas Rp. 25 Juta, Calon Haji datang ke Kantor Kementerian ag  setempat sesuai domisili untuk : a) Mengisi SPPH dengan melampirkan doumen-dokumen yang dipersyaratkan; b) Pengambilan foto berwarna pada Koperasi, berlatar belakang putih dan berukuran muka tampak 70-80 %; c) Membubuhkan tanda tangan dan Cap Jempol kiri (Finger print) pada SPPH. 
  • Calon Haji datang ke Cabang BPS-BPIH dengan membawa SPPH, 5 (lima) lembar pas photo dan buku tabungan Haji. 
  • BPS-BPIH membuat nota pendebetan rekening tabungan haji sebesar Rp. 25 juta untuk ditrnasfer ke rekening Menteri Agama CQ. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah di Cabang BPS-BPIH yang ditunjuk sebagai pooling dana Tabungan Haji. Cabang BPS-BPIH mengimput nomor pemindahbukuan / transfer dan data SPPH untuk mendapatkan nomor porsi. Kemudian Calon Haji mendapatkan bukti setoran awal dan bukti pendebetan. 
  • Calon Haji mendaftar ulang ke Kantor Kementerian agama setempat.

PROSES PELUNASAN BPIH

Waktu dan besarnya BPIH yang harus dibayar Calon Haji ditentukan oleh Pemerintah yang tertuang di dalam Peraturan Presiden (PP).
Pada waktu yang telah ditentukan, Calon Haji datang ke Cabang BPS-BPIH dengan membawa :      
  • Bukti Setoran Awal. 
  • Setoran kekurangan BPIH. 
  • 5 (lima) lembar pas photo.
Cabang BPS-BPIH meng-input porsi untuk pelunasan :
  • Menerima setoran kekurangan BPIH (sesuai kurs BI) 
  • Mentransfer dana setoran BPIH ke Rekening Menteri Agama di Bank Indonesia.
Calon Haji menerima bukti setoran BPIH dari Cabang BPS-BPIH. 
Untuk percepatan penyerahan berkas setoran BPIH lunas harus sudah berfoto (sama dengan setoran awal dan SPPH) dan distempel bank, maka perlu sosialisasi ke bank, sbb : 
  • lembar 1 (putih)     diserahkan pada Calon Haji. 
  • lembar 2 (biru)     diserahkan pada Kantor Kementerian ag dan ditahan di bank. 
  • lembar 3 (merah)     diserahkan pada Kantor Kementerian ag dan ditahan di bank. 
  • lembar 4 (kuning)     diserahkan pada Kantor Kementerian ag dan ditahan di bank. 
  • lembar 5 (putih)     ditahan untuk arsip bank.
    Proses qur’ah untuk pemberkasan dan pemberangkatan sudah harus dilakukan sejak dini.
    Selama proses pelunasan hendaknya Kantor Kementerian agama sudah mengetahui jumlah Calon Haji yang tergabung dengan masing-masing KBIH dan jumlah Calon Haji Mandiri., serta sudah ada gambaran untuk regu dan rombongannya.
    Masing-masing daerah sudah waktunya untuk siap sebagai penyangga, dengan prinsip :
    • Berangkat dari daerah secara bersamaan, walaupun nanti ada yang harus bergabung dengan kloter dibelakangnya / didepannya. 
    • Apabila harus jadi penyangga akan terpisah dalam bentuk (rombongan / regu), kecuali CJH Mandiri. Semaksimal mungkin tidak akan memecah KBIH, kecuali kondisi tidak memungkinkan / harus.

SYARAT PELUNASAN:
  1. Calon Haji yang berhak melunasi BPIH adalah : 
  2. Calon haji yang memiliki nomor porsi masuk dalam alokasi porsi provinsi dan atau porsi Kabupaten / Kota bagi wilayah yang porsi dibagi  per Kabupaten / Kota. 
  3. Calon Haji yang belum pernah menunaikan ibadah haji, telah berusia 18 tahun ke atas atau sudah menikah. 
  4. Suami, anak kandung dan orang tua kandung yang sudah menunaikan ibadah haji dan akan menjadi mahrom calon haji atau pembimbing ibadah haji yang telah ditetapkan oleh Kanwil Dep. Agama  provinsi setempat.  
  5. Calon Haji yang sudah pernah menunaikan ibadah Haji dan telah memperoleh nomor porsi, serta masuk dalam alokasi porsi Provinsi ditetapkan menjadi daftar tunggu (waiting list) tahun berjalan. 
  6. Calon Haji yang mendapatkan porsi dan masuk dalam alokasi porsi provinsi tahun yang bersangkutan namun tidak menyetorkan pelunasan BPIH, atau nomor porsinya tidak masuk dalam porsi provinsi tahun yang bersangkutan, atau telah melunasi BPIH tetapi tidak dapat berangkat, maka secara otomatis  menjadi waiting list. 
  7. Calon Haji  yang telah melunasi BPIH tahun sebelumnya namun tidak berangkat dan tidak mengambil BPIH-nya, maka harus membayar kekurangan BPIH tahun berjalan (apabila lebih dikembalikan dan jika kurang harus menambah).
Alur Calon Haji Tunda :
  • Calon Haji menyelesaikan kekurangan pelunasan BPIH. 
  • Melapor ke Kantor Kementerian Agama domisili dengan membawa lembar bukti setoran penambahan BPIH berjalan yang dilengkapi dengan lembar pelunasan BPIH tahun sebelumnya. 
  • Kantor Kementerian Agama meneliti kelengkapan berkas calon haji tersebut, meliputi:
  • a. Bukti Setor Pelunasan BPIH tahun sebelumnya.   
  • b. Bukti Setor Penambahan BPIH tahun berjalan. 
  • c. Proses penyelesaian dokumen sama dengan penyelesaian dokumen calon haji biasa.
Dalam hal porsi provinsi tidak terpenuhi sampai batas akhir masa pelunasan BPIH, Calon Haji diberikan kesempatan melunasi BPIH sesuai dengan urutan nomor porsi provinsi yang bersangkutan dengan batasan waktu tertentu.
  
KETENTUAN  MUTASI: 
  1. Mutasi antar Kabupaten / Kota dalam provinsi, antar provinsi dan antar zona hanya diperbolehkan bagi penggabungan suami / istri dibuktikan dengan akte nikah, orang tua / anak dibuktikan dengan akte kelahiran dan atau Kartu Keluarga serta alasan perpindahan tugas / dinas dibuktikan dengan SK mutasi tugas / dinas dari instansi yang bersangkutan. 
  2. Mutasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas dilakukan melalui Kantor Kementerian  Agama Kabupaten / Kota kemudian diproses oleh Kanwil Kementerian  Agama yang bersangkutan. 
  3. Proses mutasi antar provinsi dalam satu zona dapat dilakukan sejak dimulainya masa pelunasan BPIH sampai dengan 2 (dua) minggu setelahnya. Sedangkan mutasi antar provinsi, antar zona selambat-lambatnya 3 (tiga) minggu setelah masa pelunasan sudah diproses di Direktorat Pelayanan Haji. 
  4. Mutasi antar zona dilakukan melalui Kantor Wilayah Kementerian  Agama Provinsi yang dituju untuk diproses di Direktorat Pelayanan Haji. 
ALUR MUTASI :
  1. Calon Haji mengajukan permohonan mutasi ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota setempat dengan membawa foto copy BPIH lembar putih dan BPIH lembar biru (asli) untuk penerbangan dengan dilengkapi persyaratan sesuai ketentuan di atas. 
  2. Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota setempat membuat rekomendasi apabila berkas sudah sesuai dengan prosedur, ditujukan pada :
    • Kantor Kementerian Agama Kabupaten yang dituju dan tembusan  ke Kanwil Kemenag Provinsi (mutasi antar Kabupaten / Kota dalam provinsi) 
    • Kanwil Kementerian Agama Provinsi dan setelah direkomendasi oleh Kanwil Kementerian Agama Provinsi setempat diteruskan ke Kanwil Kementerian Agama Provinsi tujuan dan tembusan ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota asal (mutasi antar provinsi dalam zona) 
    • Mutasi antar zona harus dilengkapi BPIH asli lembar 1 s.d 5, materi Rp. 6.000,- sebanyak 2 lembar, pas photo lengkap untuk paspor, surat kuasa untuk pengurusan, surat kuasa untuk pengambilan kelebihan / kekurangan BPIH.

PROSES PEMBATALAN

A. PEMBATALAN SETORAN AWAL (25 JUTA).

Calon haji mengajukan permohonan pembatalan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota disertai dokumen yang dipersyaratkan :
  1. Pengajuan  Pembatalan dan Penarikan BPIH dari   yang   bersangkutan   bermaterai  Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah) dan untuk jamaah yang wafat dari ahli waris. 
  2. Bukti BPIH lembar 1 (asli) 
  3. Foto copy KTP. 
  4. Surat keterangan ahli waris dari Kelurahan diketahui oleh Camat. 
  5. Surat Kuasa atas dana pengembalian BPIH bermaterai Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah) 
  6. Surat Keterangan Kematian.
Berkas permohonan pembatalan oleh Kantor Kementerian Agama setempat (Kabupaten) diteruskan kepada Kementerian Agama Pusat melalui Kanwil Kemenag Provinsi setempat untuk diproses pembatalan data dan pembayaran.
Kementerian Agama Pusat / Bendahara BPIH memerintahkan kepada Cabang BPS-BPIH yang mengelola rekening setoran awal  untuk mentransfer dana pembayaran pembatalan ke Calon Haji.
Pengembalian setoran awal BPIH kepada Calon Haji batal dilakukan pada BPS-BPIH tempat setor tanpa dikenakan potongan biaya.


B. PEMBATALAN BPIH LUNAS

Calon Haji mengajukan permohonan pembatalan kepada Kantor Kementerian . Agama Kabupaten / Kota disertai dokumen yang dipersyaratkan.
Berkas permohonan pembatalan oleh Kantor Kementerian  Agama setempat melalui Kanwil Depag setempat diteruskan kepada Dep. Agama Pusat untuk diproses pembatalan data dan pembayaran.
Dep. Agama Pusat / Bendahara BPIH memerintahkan kepada Cabang BPS-BPIH yang mengelola rekening setoran awal  untuk mentransfer dana pembayaran pembatalan ke Calon Haji.
Pengembalian setoran awal BPIH kepada Calon Haji batal dilakukan pada BPS-BPIH tempat setor dikenakan potongan 1 %.

STANDAR PENGEMBALIAN DANA PEMBATALAN

Pengembalian dana BPIH batal diupayakan dapat diproses cepat dengan memanfaatkan faximile atau Webmail SISKOHAT dengan waktu maksimal sesuai S.O.P, sebagai berikut :
o    Kantor Kementerian . Agama Kabupaten / Kota     =    2 hari
o    Kanwil Kementerian Agama Provinsi                      =    2 hari
o    Siskohat Pusat                                                   =    2 hari
o    Bendahara BPIH                                                 =    5 hari
o    BPS-BPIH                                                          =    3 hari +
       
      Jumlah                                                              =  14 hari 

PROSES ASURANSI

Jamaah Haji diasuransikan dengan Premi  Rp. 100.000,- / CJH
Asuransi Jemaah Haji adalah Asuransi Jiwa Perjalanan Ibadah Haji yang memberikan proteksi murni terhadap resiko wafat alamiah atau akibat kecelakaan dan cacat tetap / cacat sebagian akibat kecelakaan selama asuransi.
Peserta asuransi jiwa dan kecelakaan diri jemaah haji adalah yang terdaftar dalam database Siskohat. 

KLAIM ASURANSI

Masa berlaku Asuransi Jiwa adalah sejak calon haji berangkat dari rumah ke embarkasi sampai dengan tiba kembali di tempat tinggal masing-masing.
Pengajuan klaim asuransi ditujukan kepada Asuransi Jiwa Bumi Putera 1912 setempat. 

PERSYARATAN KLAIM ASURANSI

Meninggal dunia di dalam negeri.
o    Surat Pengantar dari PPIH embarkasi.
o    Surat Keterangan dari Dokter / Rumah Sakit.
o    SKK dari Kelurahan setempat.
o    Surat Keterangan kecelakaan dari yang berwajib jika meninggal karena kecelakaan.
Meninggal dunia di Arab Saudi.
SKK dari Konjen RI.
Surat Keterangan Ahli Waris dari Kelurahan Domisili.
Surat Kuasa dari ahli waris kepada anggota keluarga yang ditunjuk untuk mengurus, menandatangani dokumen klaim dan menerima santunan.
Surat Pengantar dari Kantor Kementerian . Agama setempat.

PROSES RALAT DATA CJH

Calon Haji harap meneliti berkas yang diterima baik setelah entry SPPH oleh Kantor Kementerian ag atau setelah entry setoran awal pada BPS-BPIH.
Jika terjadi kesalahan entry dapat memintakan ralat untuk pembetulan dengan maksimal 3 item kesalahan. Apabila terjadi kesalahan pada entry SPPH ralat dimintakan pada Kantor Kementerian ag dan kesalahan entry pada BPS-BPIH maka ralat dimintakan pada bank yang bersangkutan.
Ralat ditujukan ke Siskohat Provinsi / Pusat dan tembusan ke Kantor Kementerian . Agama setempat.
Ralat dilakukan sebelum terjadinya proses pelunasan, sehingga saat proses pelunasan data sudah benar. 

BIAYA YANG MENJADI TANGGUNGAN  CALON HAJI (DI LUAR KOMPONEN BPIH)

Kegiatan-kegiatan pendukung pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji yang tidak termasuk komponen BPIH menjadi tanggungan Calon Haji masing-masing yang besarnya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, meliputi :
Pemeriksaan kesehatan sebelum masuk asrama haji embarkasi.
Perjalanan dari tempat tinggal ke Asrama Haji embarkasi / debarkasi pergi-pulang.
Biaya ziarah ke tempat bersejarah di Makkah dan Jeddah.
Biaya DAM, diharapkan  dapat  disalurkan  ke Islamic  Development   Bank melalui Bank Ar-Rajhi secara sukarela sesuai himbauan Pemerintah Arab Saudi.
Pakaian seragam.

SANKSI

  1. Calon Haji yang menggunakan identitas orang lain, pendaftarannya dinyatakan tidak sah. 
  2. BPS-BPIH yang melakukan tindakan perubahan identitas, foto dan entry data calon haji yang tidak sesuai dengan ketentuan dan prosedur akan diberikan sanksi pencabutan user ID Cabang Bank yang bersangkutan. 
  3. BPS-BPIH yang tidak melakukan pemindahbukuan dan konfirmasi data setoran BPIH, maka secara otomatis akan diblokir. 
  4. PIHK yang melakukan pelanggaran perubahan data dan identitas calon haji akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. 
  5. PIHK yang tidak melaporkan jamaah haji dalam waktu 3 x 24 jam setelah penutupan tahapan penyetoran BPIH, maka datanya akan diblokir secara sistem.

DIHARAPKAN

Kepada semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji termasuk BPS-BOIH agar meningkatkan pelayanan, sosialisasi, pembinaan dan koordinasi dengan sebaik-baiknya.
Kepada masyarakat yang akan menunaikan ibadah haji dihimbau untuk melakukan pembayaran dan mendaftarkan diri melalui prosedur yang telah ditentukan dan tidak melalui perantara atau calo. Pergunakan waktu dan jadual pendafataran yang telah ditentukan dengan sebaik-baiknya.
Kepada calon jamaah haji yang ingin mendapatkan informasi lebih lengkap dipersilahkan menghubungi pejabat / pentugas Kementerian  Agama di wilayah masing-masing atau melalui Website www.informasihaji.com 

 
Design by Muhammad Zainudin | Penghulu KUA Kec. Mranggen